Selamat datang di Kawasan Penyair Nusantara Kalimantan Timur. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Jumat, 03 Juni 2011

Roedy Haryo Widjono AMZ



Roedy Haryo Widjono AMZ, lahir di Solo, Jawa Tengah, 5 Juli 1958. Pegiat Komunitas Studi Silang Budaya dan Direktur Nomaden Institute for Cross-Cultural Studies. Kini bermukim di Samarinda.

Beberapa buku yang pernah ditulis: Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok (1998), Agenda Reformasi: Menata Kembali Hubungan Negara dan Masyarakat Adat (1998), Revitalisasi Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (2000), Prahara Budaya dalam Eksploitasi Sumber Daya Alam: Refleksi Peradaban Komunitas Adat di Borneo (2002). Belian, Tradisi yang Hilang dari Peradaban Masa Silam (2009). Menguak Tabir Meta Kuliner dalam Perspektif Kosmologi Dayak (2010)

Buku kumpulan puisinya yang telah terbit: Catatan Belantara (1989), Lelaki Penunggang Gelombang (1997), Negeri Bara Api (2000). Sedangkan kumpulan Puisi ”Kesaksian Lelaki Penghibur” ditulis tatkala berziarah ke pelbagai negeri yang dikunjunginya. Alamat surat elektronik: dewatuak@gmail.com
Alamat Surat : Jl. Bukit Barisan RT. 38, No. 5, Samarinda, 75122, Kalimantan Timur
Alamat Email : dewatuak@gmail.com
Nomor HP : 0813 4633 9134

PENAKLUK MALAM

Meski malam belum jua larut, lelaki itu mulai terseok menyeret bayangan tubuhnya yang lusuh.
Namun ia pantang surut menyusur jalan yang tak berujung kepastian

Angin malam menikam tengkuknya.
Maka ia terpaksa berhenti sejenak, tepat di sebuah tikungan lorong buntu,
lalu tengadah ke langit kelam.
Matanya kuyup lantaran tak menemukan pertanda kemana lagi musti melangkah.
Bibirnya kelu karena tak paham kepada siapa musti berujar tentang nafas hatinya yang kian tersengal.

Malam kian renta.
Bayangan tubuhnya mulai mengeluh karena rembulan alpa teteskan sinar di relung jiwanya
yang gusar memikul beban langit mendung.

Embun dini hari mulai meremas rambutnya hingga membuat ngilu jiwanya.
Semalam ia tertindas kuasa kegelapan dan musti mengubur bayangan tubuhnya
di emperan trotoar subuh.
Lelaki penakluk malam, takluk oleh malam.

Samarinda, 2011


HIKAYAT KEMATIAN TIKUS

Sudah kubilang, kalau mau melintas jalan di riuh kota
tengok kanan-kiri dulu, kalau sudah sepi barulah menyeberang dengan seksama.

Bukankah juga sudah kubilang, lalu-lintas di negeri ini semakin tidak beradab.
Tak ada yang mau mengalah, rasa sabar sudah dikunyah kekuasaan
semua merasa empunya jalan.
Main serobot sembarangan, klakson keras berbunyi membuat kaget orang jantungan
Itu sudah biasa di negeri yang konon mahsyur amat santun.
Kalau ditegur malah marah, lalu matanya melotot menyambar dengan geliat rasa amuk.

Aku tahu, niatmu baik.
Ketika senja baru saja beranjak dari peraduan,
engkau bergegas menyeberang jalan dari Rumah Sakit Tentara
menuju gereja Katedral. Jalan raya itu namanya Jendral Sudirman.

Sebenarnya bila engkau berhasil menyeberang,
lalu menyusur parit yang penuh genangan sampah plastik,
pastilah engkau akan tiba di gudang beras,
tepat di sudut kiri dapur pastoran yang pintunya selalu tak terkunci.
Aku faham, mengerat karung plastik, berjuang menemukan butiran beras,
adalah usaha terakhir yang harus kau perbuat, karena tak ada pilihan.

Mencari kerja semakin sulit, maka engkau terpaksa melakukannya
sekalipun tahu, Padri tua berujar dosa, tapi engkau memang harus menjalani takdir.
Riwayat telah menggoreskan kehendak, engkau wafat di jalan Jendral Sudirman,
saat rembang petang seiring bunyi lonceng gereja.

Mayatmu yang terburai di aspal jalan, tak sekalipun ditoleh para jemaat.
Begitulah garis hidupmu, digilas kejamnya lalu-lintas yang tak beradab.
Semoga surga menyisakan tempat untukmu.

Samarinda, 2011


RIWAYAT MALAM

Gelap merayap dalam hening malam tanpa rasa,
menyusup di relung semesta ketika senja bergegas pulang ke pelabuhan waktu.

Gumpalan awan teronggok diam di langit tanpa bayang bintang.
Sunyi menikam anganku dalam renung takut yang menderu, sebab gelap terus berkelindan
seraya melambaikan dingin yang bersekutu dengan rintih satwa malam.

Jejak waktu serasa tak beranjak.
Betapa lama menanti kesaksian embun,
hingga penantian kian rapuh didera letih.

Gelap tertidur lelap di rahim malam.
Mustikah aku letih mencintaimu
ketika gelap takluk pada embun dini hari.

Samarinda, 2011


GERIMIS PAGI

Tadi kulihat, Pagi tersipu malu karena hujan mengganggunya dengan rintik gerimis.
Jemari hujan yang nakal terasa menggelitik hatinya,
membuat pipi Pagi kian lembab dikepung mendung.

Pagi semakin gusar, karena kemarin hujan sudah mencakar tubuhnya
hingga membekaskan bilur merah yang perih oleh gigil dingin.

Dalam rasa gelisah yang membatu,
kakaknya Siang malah lelap tertidur, sebab Matahari enggan menggeliat.
Pagi hanya bisa berharap, agar hujan yang naksir dirinya tak tambah marah karena kasihnya tak sampai.

Sebab bila ia marah, cengkeraman jemarinya akan menggenangi kota.
Kalau sudah begitu, ia kian emosional, melabrak apa saja, merendam apa saja,
tak peduli itu rumah Allah.

Pagi kian cemas bila hujan memanggil temannya: angin dan petir.
Karena keduanya lebih menakutkan dari Mak Lampir.

Begitulah temperamen hujan bila mencari perhatian agar cintanya pada Pagi diterima.
Namus justru Pagi kian ketakutan karena cinta yang tak tulus
niscaya membawa petaka bagi adiknya si bungsu Malam.


Samarinda, 2011

Tidak ada komentar: